image1 image2 image3

HELLO I'M JOHN DOE|WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M PROFESSIONAL WEB DEVELOPER

Sepaket Bahagia dan Duka dalam Pernikahan Batak



Jujur aja aku adalah orang yang paling nggak pernah terlalu peduli dengan aturan-aturan adat dan tradisi yang masih terus berlaku dalam keluarga kami sebagai suku Batak. Meski nyatanya kedua orangtua kami adalah tipikal orangtua Batak yang begitu menjunjung tinggi adat istiadat. Ya, mungkin cara hidup yang berpadanan dengan tradisi sudah mengakar dalam diri mereka karena kebiasaan dan tuntutan dari pentingnya mematuhi tatanan hidup yang diwariskan nenek moyang suku ini. Ibarat sebuah kewajiban; jika kamu adalah Batak maka nggak ada alasan buat nggak menjalankan tradisi.

Jika mama dan papa ku bisa menjelaskan secara rinci soal silsilah marga, kedudukan dalam keluarga atau tata cara dalam suatu adat, maka kami sama sekali tak akan pernah paham dengan itu, kecuali adik laki-laki ku yang dianggap si sulung dan menjadi pemimpin tertinggi atas kami empat bersaudara (soal ini bakal aku bahas di topik bahasan berikutnya).

Banyak orang menilai tradisi pernikahan Batak itu rumit, rempong, ribet, riweh dan apalah itu. Mau tau dampak buruk dari mindset ini? Banyak laki-laki (termasuk laki-laki Batak) yang kemudian pikir-pikir menikahi wanita Batak. Sinamot dan adat pernikahan dianggap menjadi dua hal yang paling memberatkan. 

Bagi orang-orang Batak yang kurang paham dengan adat sepertiku, mungkin mulai tercengang-cengang kalau-kalau sebagian dari rekan atau keluarga mereka yang menikah menyebut biaya total untuk melangsungkan sebuah pernikahan bisa mencapai ratusan juta. Lalu kita mulai ciut saat mendengar nominal biaya sebesar itu. Kita akhirnya menyerah dan memutuskan tak ingin menikahi seseorang dari suku ini. Betapa menyedihkannya suku ini saat masalah sinamot dan pesta adat harus dijadikan kambing hitam? Sebagai orang Batak aku turut berduka!

5 Mei 2016 lalu, kakak kami yang paling sulung menikah. Ini adalah pernikahan pertama dalam keluarga kami. Dia menikahi seorang pria sesama suku Batak. Meskipun aku gagap tradisi, bukan berarti aku abai dengan segala urusan persiapan pernikahan mereka yang akan dilangsungkan secara adat. Aku tahu segala hal tentang persiapan mereka. Aku tahu puluhan juta harus mereka persiapkan untuk pernikahan ini. Sinamot dan acara adat (katering, sewa gedung, gereja, pakaian, dan sebagainya) tentu perlu biaya toh! Dan mereka mempersiapkan sesuai kebutuhan pernikahan. Bagiku, persiapan ini tak ubahnya dengan pernikahan yang dilakukan oleh suku lain. Sinamot dalam istilah lainnya disebut mahar dan biaya adat mungkin ibarat resepsi nikah seusai pemberkatan di gereja. Nggak ada bedanya! 




Penjelasan soal sinamot dan biaya adat di atas mungkin bisa di terima. Tapi aku tahu ada sesuatu yang lain yang mengganjil di benak. Ya, bukan soal sinamot dan biaya adat sih, tapi yang bikin pernikahan Batak itu ribet bukan kepalang ya, soal tata acara sepanjang pesta adat! Harus ada tor-tor lah, hula-hula, bagi jambar lah, mangulosi lah (istilah Batak) dan lainnya. Soal ini, aku setuju! Memang ribet dan bikin pasangan pengantin kecapekan dan lelah.

Apa bagian ini bisa dihilangkan? Jawabnya Nggak, tapi disederhanakan ya mungkin. Intinya, semakin banyak dan besar keluarga salah satu pihak (pria dan wanita), semakin lama proses pesta adat. Begitu sebaliknya! Inilah duka sebenarnya dalam pernikahan Batak. 

Bahagianya apa? Jika ditanyakan soal bahagia. Bahagia dan duka dalam pernikahan Batak adalah sepaket. Mama, papa, adik-adik, kakak dan keluarga besarku tentu saja bahagia. Bahagia karena pernikahan seorang anak dalam sebuah keluarga Batak adalah berkah. Keluarga Batak merasa begitu bangga saat anak perempuannya memutuskan menikah di bawah usia 30 tahun. Orangtua-orangtua Batak akan mulai stres dan frustrasi saat anak gadisnya belum juga menikah di usia melebihi kepala tiga. Sementara perkara usia bukan sebuah masalah bagi anak laki-laki. 

Nggak masalah jika sebagian orang masih berpikir adat Batak itu memang ribet dan berat. Nggak masalah pula jika sebagian orang menganggap skeptis soal adat istiadat. Tetapi kebenarannya adalah setiap kita tentu nggak berharap dilahirkan di suku tertentu bukan? Kita dilahirkan dalam suku tertentu bukan karena kemauan kita bukan? Jadi, kenapa harus mencibir atau anti dengan budaya yang satu dan mengata-ngatai kekurangan budaya yang lain? Bukankah itu yang harusnya kita pandang sebagai keunikan dan identitas sebuah suku yang membedakannya dari suku yang lain?

Share this:

CONVERSATION

0 comments: