Source|Theguardian.com| |
Wajah itu masih serupa hingga kini. Aku
ingat ekspresi aneh itu memancarkan sekelebat kebingungan dan pemberontakan.
“Benci” adalah kata tepat dari pancaran bola mata dengan kernyitan dahi
disekitarnya.
Namun dibaliknya, ia iba. Rasa itu
seolah menekan dadanya. Ia merasakan tekanan besar menghantam tepat di ulu
hatinya. Dengan bibir yang seolah berbicara tanpa suara. Samar ia ucapkan
“Jakarta, kota sejuta rupa. Aku membencimu dengan segenap jiwa”.
Entah mengapa, ‘kebencian’ itu rasanya
tak beralasan. Hanya ia yang tahu.
Meski sepasang kaki itu telah berulang
kali menginjakkan tanah kebencian itu, berulang kali pula ketidakramahan tatapan itu terpancar dengan terang kepada gedung-gedung pencakar langitnya,
kendaraan-kendaraan yang berseliweran di sana-sini, bahkan bagi mereka yang
menjajakan barang dagangannya dipinggiran halte-halte busway. Di matanya mereka
terlihat ‘bodoh’.
Dalam kesendiriannya, ia meratap betapa
ibu kota telah menjadi kota tanpa hati. Kota yang telah disulap menjadi jutaan
rupa yang sudah suram tanpa warna cerah cerianya. Ia menangis pilu bukan lagi
dengan kebencian tanpa alasan, namun karena cinta yang ia tanam terlalu dalam
bagi kemanusiaan.
Beribu kali ia harus menyerah dengan ‘ego’
Jakarta. Taburan pesonanya mampu menjebak mereka yang lugu pengetahuan dan
perawakannya.
“Ironis, hidup memang demikian adanya!”
bisiknya dalam hati.
Tapi aku masih tetap tak mengerti,
mengapa wajah penuh kebencian itu masih tetap disana? Dalam diam, ia bergumam,
“Aku hanyalah utusan yang hanya berjalan sesaat lalu akan pergi kembali”.
Dan aku pahami bahwa ‘kebencian’ itu adalah ekspresi ‘kesedihan’ atas perlakuan ibu kota terhadap mereka yang terjebak hidup ditengah ketidakramahan atmosfernya.
Dan aku pahami bahwa ‘kebencian’ itu adalah ekspresi ‘kesedihan’ atas perlakuan ibu kota terhadap mereka yang terjebak hidup ditengah ketidakramahan atmosfernya.
---sepenggal surat untuk Jakarta---
0 comments:
Post a Comment