source: filmcomment.com |
Saat bicara soal
AYAH, hal pertama apa yang terlintas di benak Anda? Ayah. Ya, laki-laki yang
pertama kali kita kenal sejak lahir. Dan sebuah tulisan dari salah satu penulis
linimasa.com, sebut saja Fa, berhasil menarik rasa harunya hati ini untuk
menyelami siapa ayah itu sebenarnya.
Belakangan hari ini,
saya tertarik dengan dua film produksi Hollywood yang tengah tayang di
bioskop-bioskop Indonesia. The Judge dan Interstaller. Dua
film ini sukses membuat saya mewek berat. The Judge bicara
soal hubungan yang nggak
sedap antara Bapak-Anak, mengingatkan saya akan ayah dan adik laki-laki bungsu
saya yang tak pernah akur. Hank adalah seorang pengacara yang sudah sejak
lama tak lagi harmonis dengan sang ayah Joseph Palmer. Bagai air dan minyak.
Konflik dalam film
ini dimulai sejak Hank yang adalah anak kedua merasa bukan siapa-siapa di
tengah keluarganya. Hank yang beranggapan bahwa sang ayah tak pernah
mencintainya, menyadari ternyata sang ayah sudah melakukan banyak hal untuknya.
Terharu. Ya, bagian ini benar-benar momen yang menguras banyak air mata.
Berbeda dengan Interstellar, film
science fiction
yang begitu bersejarah bagi saya karena berhasil memaksakan diri harus nonton
nih film sampai tengah malam tok "sendiri" di bioskop yang
notabene penontonnya kebanyakan bawa pasangan, minimal teman. Ya, lagi-lagi
film ini bikin saya nangis bombai abis.
Bila The Judge bicara
soal ayah yang cool,
maka Interstellar
adalah film yang menunjukkan bagaimana seorang laki-laki benar-benar memenuhi
perannya sebagai ayah. Joseph Cooper punya dua anak, Tom dan Murphy. Cintanya
kepada kedua buah hatinya itu melebihi dari batas yang ia punya. Hanya saja
sang ayah ini nggak
punya waktu untuk bisa menyaksikan anak-anaknya tumbuh besar karena tugas
yang harus diselesaikannya sebagai pilot luar angkasa. Ia berjanji untuk
kembali pulang, tapi entah kapan. Puluhan tahun, cintanya tak pernah berubah.
Ada perasaan kecewa dan menyesal sebab memilih kehilangan momen-momen terindah
tinggal di rumah bersama anak-anaknya. Waktu yang terasa sudah sangat panjang
mendorongnya ingin segera menyelesaikan misi dan kembali pulang. Cinta yang
begitu besar dari seorang ayah terhadap keluarganya digambarkan dalam film ini.
Bukankah banyak dari ayah-ayah kita punya karakter demikian?
Sederet film-film
drama keluarga lain seperti The Pursuit of Happiness, Life is Beautiful, Real
Steel, The Godfather, After Earth, Argo atau Kramer vs Kramer, juga mengisahkan
tentang siapa ayah yang kita kenal. Setidaknya, beragam karakter ayah yang
digambarkan dalam film-film di atas mewakili salah satu sosok ayah yang kita
kenal. Mungkin mereka adalah sosok yang dingin, keras, kasar, atau sebaliknya
penuh cinta, bertanggung jawab dan terbuka. Namun ayah tetaplah ayah.
Tetapi pertanyaannya
adalah apakah mereka ingin putranya yang mengenal sosok laki-laki pertama kali
di dunia lewat ayah berharap dapat menjadi seperti mereka? Atau putrinya yang
akan dipersunting nantinya oleh seorang laki-laki akan serupa seperti sosok
ayah? Dua tanggung jawab moral yang cukup berat sebenarnya ada dipundak ayah.
Ketika ia gagal menjadi ayah yang baik, maka dampaknya akan berimbas pada
kehidupan putra-putrinya. Sebab pepatah ‘buah tak jatuh jauh dari pohonnya’
masih tetap berlalu hingga sekarang.
Siapa yang tak ingin
punya ayah yang berjuang mati-matian seperti Chris Gardner di Pursuit of Happiness,
untuk memberi kehidupan yang lebih baik bagi anaknya. Atau seperti Guido Orefice di Life is Beautiful
yang harus berbohong dan berpura-pura untuk menghilangkan rasa takut yang
dialami anaknya Giosue
yang saat mereka diseret dalam situasi memuncaknya Perang Dunia II dan sadisnya
kamp konsentrasi kelompok Nazi Jerman.
Atau dalam After Earth dimana
hubungan yang sebelumnya tidak harmonis antara Ranger Cyper Raige dengan
putranya Kitai Raige, berakhir manis. Kesadaran Cyper bahwa Kitai membutuhkan
figur seorang ayah membuatnya bertindak sebagai guru yang mampu mengusir
bayang-bayang kesuksesannya dalam diri Kitai. Hingga pada akhirnya, Cyper
secara terbuka menyatakan kebanggaannya kepada putranya itu karena telah
berhasil melawan ketakutan yang selama ini menghantuinya dan berdiri sebagai
pahlawan yang dengan gagahnya menyelamatkan sang ayah dan dirinya dari ancaman
kematian.
Bukankah perilaku dan
tindakan seorang ayah yang digambarkan di layar kaca menunjukkan bahwa ayah
juga manusia yang punya konflik dalam dirinya? Saya pikir, memang tak mudah
menjadi ayah. Sebab ia punya tanggung jawab untuk bertindak sebagai pahlawan
dan cinta pertama bagi putra dan putrinya. Saya jadi ingat dengan satu quotes yang saya
baca entah dari mana, namun masih melekat di notes ponsel saya
bahwa, “Ayah adalah first heronya bagi anak laki-laki, dan first lovenya anak
perempuan”.
Di salah satu tulisan
saya sebelumnya, saya sempat sedikit menyinggung pengalaman saya untuk pertama
kalinya memeluk dan dipeluk oleh ayah. Ya, ayah saya yang dalam diamnya begitu
mengasihi saya. Yang dibalik ketidaktahuan saya, ia begitu peduli (bahkan
menyangkut berat badan). Ayah, sama seperti Ibu juga butuh diperdulikan, butuh
diajak ngobrol
dan mengerti akan jalan pikirannya.
Ayah, ahhh, bikin
jadi rindu pulang dan pingin peluk ayah
erat-erat.
0 comments:
Post a Comment