image1 image2 image3

HELLO I'M JOHN DOE|WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M PROFESSIONAL WEB DEVELOPER

MENIPU DIRI SENDIRI

Source: Hipwee.com
Salah satu akibat buruk ketika saya harus memaksakan diri untuk menyenangkan orang lain adalah kecewa.  Ya, seringnya begitu. Mungkin kendalanya ada dalam diri sendiri; obsesi agar dipandang menyenangkan dan bermurah hati, yang malah lebih bermakna kamuflase yang tak sehat. 

Belakangan ini saya baru menyadari banyak hal bodoh yang saya sengaja lakukan untuk menyenangkan orang lain, setidaknya membuat lelucon garing yang hanya sekedar mengundang decak tawa. Memaksa diri menjadi sosok yang bukan diri saya; bukan identitas saya.

Saya adalah orang yang paling nggak bisa tunduk dengan perintah orang lain yang rasanya bertentangan dengan prinsip dan kemauan saya secara pribadi. Banyak kali hati saya akan kerap berontak dan berujung pada ketidakpatuhan. Namun di sisi lain, saya juga kerap harus dipaksa menyangkali hati nurani. Akibatnya saya hanya menipu diri sendiri!

Pernah di suatu kali, saya dan sejumlah kawan kampus, tepatnya, berencana camping atau berkemah di suatu tempat khusus perkemahan pramuka. Waktu itu, saya dan mereka berencana hendak menjelajah salah satu air terjun di sana. 

Betapa tidak lucunya saya ketika saya harus membuat sebuah lelucon garing dan nggak jelas di malam saat saya dan beberapa teman tengah menikmati obrolan apa saja yang bisa dibagikan. Tiba-tiba setiap kami hening, seperti seolah kehabisan bahan untuk diperbincangkan.Nah, nggak tahan dengan situasi kaku itu, saya dengan pede mulai berkelakar tentang lelucon seorang gadis berok mini dan seorang laki-laki dengan kelakuan aneh. Dan taukah kamu, saya adalah satu-satunya orang yang tertawa kala itu. Mereka sama sekali tak menilai bahwa lelucon itu benar-benar punya nilai humor yang tinggi. Shame! 

Kalian mungkin pernah mengalami hal serupa, ketika dalam sebuah perbincangan yang serba adanya, tiba-tiba sebuah keheningan menyerang. Kamu hanya berharap ada sosok yang mengacau balaukan keheningan tersebut dengan sebuah cerita konyol atau atraksi topeng monyet. Atau setidaknya menyerupai percakapan-percakapan konyol para bintang Opera Van Java (OVJ) yang bikin perut berguncang tanpa henti. Dan saya selalu berusaha menjadi pahlawan di tengah—tengah momen yang paling menyebalkan itu. Tak hanya sekali dua kali saja, namun berkali-kali. Lagi-lagi, saya hanya ingin dinilai menyenangkan dan bisa mengubah situasi menjadi lebih nyaman dan ceria. 

Lain lagi ketika saya harus menghadapi seseorang yang nge-bossy abis, seumur-umur paling malas ketemu dengan figur begituan. Karena cenderung menganggap diri lebih tinggi dan seenak jidat menyuruh sana sini. Biasanya saya akan menghadapi tipe pribadi demikian dengan dua senjata andalan; tetap melakukan meski berontak dalam hati atau seolah-olah patuh namun tidak melakukan. Untuk senjata pertama, biasanya adalah kamuflase yang paling sering saya lakukan. Dengan alasan segan menolak atau hanya sebagai bentuk hormat kepada orang tersebut.  Sedang senjata kedua, adalah sikap buruk yang akan dipandang orang lain dari diri saya, akibatnya banyak kali orang tak lagi percaya dengan jawaban acuh yang kerap saya lontarkan seperti ‘ohh oke’, ‘iya’, ‘nanti ya’, dsb. 

Setuju atau tidak, dua-duanya adalah pilihan yang keliru. Sebuah tindakan menyenangkan orang lain yang hanya justru akan merugikan citra diri sendiri. Padahal akan jauh lebih mudah ketika kita hanya memilih untuk menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’. 

Hal lain yang memungkinkan saya untuk melakukan tindakan serupa adalah ketika diperhadapkan dengan timing dan momen yang nggak pas. Saya kerap kali harus mengorbankan waktu dan rencana yang saya buat hanya untuk memenuhi keinginan teman yang tiba-tiba datang berkunjung, curhat tentang masalah pribadi baik lewat telepon atau ngobrol langsung, basa basi saat jam kerja, ajakan untuk shopping atau melakukan kegiatan seperti hangout, nongkrong  atau ngobrolin hal-hal yang sama sekali nggak penting. 

Saat dijalani, tahukah kamu, timbul sesuatu yang mengganjal di hati. Hingga di suatu titik, kita akan merasa lelah dengan kamuflase, lelah untuk berpura-pura jadi konseling yang selalu setia mendengarkan curhatan-curhatan cinta sahabat yang hanya sekedar melampiaskan seluruh isi hati dan perasaannya tanpa peduli sedikit pun dengan saran yang kamu tawarkan. Lelah mencari-cari topik bahasan atau lelucon apa  yang pas untuk memecah keheningan saat berada di tengah-tengah sahabat yang sibuk dengan gadget masing-masing atau bergerilya dengan seribu kebisuan. 

Saya sadari, ketika berada ditengah situasi itu saya hanya mendapat rasa lelah dan kerugian diri. Saya bahkan harus kehilangan momen untuk melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Sadar bahwa fokus utama saya menjadi semakin jauh dan melenceng dari apa yang saya sudah tata apik. Sadar bahwa menyenangkan orang lain hanya bentuk pemaksaan diri; menjadi sesuatu yang asing bagi diri sendiri. 

Tak ada yang salah memang dengan berusaha menyenangkan orang lain, apalagi bagi mereka yang kita kasihi. Menyenangkan orang lain dengan mencapai prestasi memuaskan di sekolah, punya pekerjaan dengan jenjang karir yang menjamin kebutuhan keluarga atau  menyenangkan orang lain dengan perkataan yang tepat pada waktunya. Kita bukanlah orang dewasa yang berusaha berlaku lucu di depan seorang balita dengan menawarkan benda aneh untuk membuatnya sekedar tertawa. Sebab kita nggak berharap lebih dari anak balita selain dia bisa tertawa dan dengan manisnya bermanja dipangkuan kita. 

Kita berhadapan dengan orang-orang dewasa dengan segala kompleksitas persoalannya masing-masing, dimana kita berharap bisa kelihatan menyenangkan demi mendapat penilaian atau penerimaan yang baik. Kita lupa bahwa menjadi diri sendiri justru akan membuat hidup lebih simpel. 

Dalam bukunya The Purpose Driven Life, Rick Warren mencoba membuka minset saya yang salah tentang menyenangkan orang lain. Dia menggambarkan tindakan itu sebagai sebuah kegagalan dalam hidup. Alasannya, saat kita berupaya menyenangkan orang lain maka kita sedang berpura-pura acuh dengan keinginan kita sendiri sehingga membuat kita tidak tampil menjadi diri sendiri. Kita pura-pura nggak tahu apa yang kita mau dan selalu menaruh keinginan untuk dinilai baik oleh orang lain.  Akibatnya, kita kehilangan arah, tujuan hidup kita dialihkan atau dikemudikan oleh keinginan orang lain. Kita kehilangan jalan utama menuju prioritas yang seharusnya kita capai.   

Menyenangkan hati orang lain adalah kunci suksesnya kegagalan. Kegagalan untuk menjadi diri sendiri. –Rick Warren
Kalimat ini yang menohok saya begitu keras. Menyadarkan saya untuk tidak memaksakan diri tertawa terlalu lebar, atau mencoba membuat suasana hening menjadi riuh dengan lelucon garing, dan hidup di bawah tekanan akibat desakan orang lain. Sebab orang dewasa hendaklah berlaku bijak, tahu waktu dan momen yang tepat untuk memenuhi keinginan orang lain dan diri sendiri. 

Saya tidak mengetahui semua kunci menuju keberhasilan, tetapi salah satu kunci menuju kegagalan adalah berusaha menyenangkan semua orang.

Share this:

CONVERSATION

0 comments: