Source: Hipwee.com |
Salah satu akibat buruk ketika
saya harus memaksakan diri untuk menyenangkan orang lain adalah kecewa. Ya, seringnya begitu. Mungkin kendalanya ada
dalam diri sendiri; obsesi agar dipandang menyenangkan dan bermurah hati, yang
malah lebih bermakna kamuflase yang tak sehat.
Belakangan ini saya baru
menyadari banyak hal bodoh yang saya sengaja lakukan untuk menyenangkan orang
lain, setidaknya membuat lelucon garing yang hanya sekedar mengundang decak
tawa. Memaksa diri menjadi sosok yang bukan diri saya; bukan identitas
saya.
Saya adalah orang yang paling
nggak bisa tunduk dengan perintah orang lain yang rasanya bertentangan dengan
prinsip dan kemauan saya secara pribadi. Banyak kali hati saya akan kerap
berontak dan berujung pada ketidakpatuhan. Namun di sisi lain, saya juga kerap
harus dipaksa menyangkali hati nurani. Akibatnya saya hanya menipu diri
sendiri!
Pernah di suatu kali, saya dan
sejumlah kawan kampus, tepatnya, berencana camping atau berkemah di suatu
tempat khusus perkemahan pramuka. Waktu itu, saya dan mereka berencana hendak
menjelajah salah satu air terjun di sana.
Betapa tidak lucunya saya
ketika saya harus membuat sebuah lelucon garing dan nggak jelas di malam saat saya dan beberapa teman tengah menikmati
obrolan apa saja yang bisa dibagikan. Tiba-tiba setiap kami hening, seperti
seolah kehabisan bahan untuk diperbincangkan.Nah, nggak tahan dengan situasi kaku itu, saya dengan pede mulai berkelakar tentang lelucon
seorang gadis berok mini dan seorang laki-laki dengan kelakuan aneh. Dan taukah
kamu, saya adalah satu-satunya orang yang tertawa kala itu. Mereka sama sekali
tak menilai bahwa lelucon itu benar-benar punya nilai humor yang tinggi. Shame!
Kalian mungkin pernah
mengalami hal serupa, ketika dalam sebuah perbincangan yang serba adanya,
tiba-tiba sebuah keheningan menyerang. Kamu hanya berharap ada sosok yang
mengacau balaukan keheningan tersebut dengan sebuah cerita konyol atau atraksi
topeng monyet. Atau setidaknya menyerupai percakapan-percakapan konyol para
bintang Opera Van Java (OVJ) yang bikin perut berguncang tanpa henti. Dan saya
selalu berusaha menjadi pahlawan di tengah—tengah momen yang paling menyebalkan
itu. Tak hanya sekali dua kali saja, namun berkali-kali. Lagi-lagi, saya hanya
ingin dinilai menyenangkan dan bisa mengubah situasi menjadi lebih nyaman dan
ceria.
Lain lagi ketika saya harus
menghadapi seseorang yang nge-bossy abis, seumur-umur paling malas ketemu dengan
figur begituan. Karena cenderung menganggap diri lebih tinggi dan seenak jidat
menyuruh sana sini.
Biasanya saya akan menghadapi tipe pribadi demikian dengan dua senjata andalan;
tetap melakukan meski berontak dalam hati atau seolah-olah patuh namun tidak melakukan.
Untuk senjata pertama, biasanya adalah kamuflase yang paling sering saya
lakukan. Dengan alasan segan menolak atau hanya sebagai bentuk hormat kepada
orang tersebut. Sedang senjata kedua,
adalah sikap buruk yang akan dipandang orang lain dari diri saya, akibatnya
banyak kali orang tak lagi percaya dengan jawaban acuh yang kerap saya
lontarkan seperti ‘ohh oke’, ‘iya’, ‘nanti ya’, dsb.
Setuju atau tidak, dua-duanya
adalah pilihan yang keliru. Sebuah tindakan menyenangkan orang lain yang hanya
justru akan merugikan citra diri sendiri. Padahal akan jauh lebih mudah ketika
kita hanya memilih untuk menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’.
Hal lain yang memungkinkan
saya untuk melakukan tindakan serupa adalah ketika diperhadapkan dengan timing dan momen yang nggak pas. Saya kerap kali harus
mengorbankan waktu dan rencana yang saya buat hanya untuk memenuhi keinginan
teman yang tiba-tiba datang berkunjung, curhat tentang masalah pribadi baik
lewat telepon atau ngobrol langsung, basa basi saat jam kerja, ajakan untuk shopping atau melakukan kegiatan seperti
hangout, nongkrong atau ngobrolin hal-hal yang sama sekali nggak penting.
Saat dijalani, tahukah
kamu, timbul sesuatu yang mengganjal di hati. Hingga di suatu titik, kita akan
merasa lelah dengan kamuflase, lelah untuk berpura-pura jadi konseling yang
selalu setia mendengarkan curhatan-curhatan cinta sahabat yang hanya sekedar
melampiaskan seluruh isi hati dan perasaannya tanpa peduli sedikit pun dengan
saran yang kamu tawarkan. Lelah mencari-cari topik bahasan atau lelucon
apa yang pas untuk memecah keheningan
saat berada di tengah-tengah sahabat yang sibuk dengan gadget masing-masing atau bergerilya dengan seribu kebisuan.
Saya sadari, ketika berada ditengah situasi itu saya hanya mendapat rasa lelah dan kerugian diri. Saya bahkan harus kehilangan
momen untuk melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Sadar bahwa fokus utama
saya menjadi semakin jauh dan melenceng dari apa yang saya sudah tata
apik. Sadar bahwa menyenangkan orang lain hanya bentuk pemaksaan diri; menjadi sesuatu yang asing
bagi diri sendiri.
Tak ada yang salah memang
dengan berusaha menyenangkan orang lain, apalagi bagi mereka yang kita kasihi.
Menyenangkan orang lain dengan mencapai prestasi memuaskan di sekolah, punya
pekerjaan dengan jenjang karir yang menjamin kebutuhan keluarga atau menyenangkan orang lain dengan perkataan yang
tepat pada waktunya. Kita bukanlah orang dewasa yang berusaha berlaku lucu di
depan seorang balita dengan menawarkan benda aneh untuk
membuatnya sekedar tertawa. Sebab kita nggak berharap lebih dari anak balita selain dia bisa
tertawa dan dengan manisnya bermanja dipangkuan kita.
Kita berhadapan dengan
orang-orang dewasa dengan segala kompleksitas persoalannya masing-masing, dimana kita berharap bisa kelihatan menyenangkan demi mendapat penilaian atau penerimaan yang baik. Kita lupa bahwa menjadi diri sendiri justru akan membuat hidup lebih simpel.
Dalam bukunya The Purpose Driven Life, Rick Warren
mencoba membuka minset saya yang salah tentang menyenangkan orang lain. Dia
menggambarkan tindakan itu sebagai sebuah kegagalan dalam hidup. Alasannya, saat kita berupaya menyenangkan orang lain maka kita sedang berpura-pura
acuh dengan keinginan kita sendiri sehingga membuat kita tidak tampil menjadi
diri sendiri. Kita pura-pura nggak
tahu apa yang kita mau dan selalu menaruh keinginan untuk dinilai baik oleh
orang lain. Akibatnya, kita kehilangan
arah, tujuan hidup kita dialihkan atau dikemudikan oleh keinginan orang lain.
Kita kehilangan jalan utama menuju prioritas yang seharusnya kita capai.
Menyenangkan hati orang lain adalah kunci suksesnya kegagalan. Kegagalan untuk menjadi diri sendiri. –Rick Warren
Kalimat
ini yang menohok saya begitu keras. Menyadarkan saya untuk tidak memaksakan
diri tertawa terlalu lebar, atau mencoba membuat suasana hening menjadi riuh
dengan lelucon garing, dan hidup di bawah tekanan akibat desakan orang lain.
Sebab orang dewasa hendaklah berlaku bijak, tahu waktu dan momen yang tepat
untuk memenuhi keinginan orang lain dan diri sendiri.
Saya tidak mengetahui semua kunci menuju keberhasilan, tetapi salah satu kunci menuju kegagalan adalah berusaha menyenangkan semua orang.
0 comments:
Post a Comment