Cinta
adalah landasan mendasar bagi ku untuk melangkah hingga masuk menggeluti dunia
media atau jurnalistik. Kecintaan ini tumbuh bukan sejak kecil, tapi sejak
diakhir studi – saat makin banyak waktu yang tersita buat diskusi, nonton dan
berdebat ringan tentang politik dengan teman-teman pria se-organisasi kampus
maupun teman-teman sekelas.
Disamping
dorongan keinginan dan kegemaran menulis sejak lama, gelar Sarjana Sastra Inggris
yang ku kenakan pun cukup menggairahkan untuk melaju mengerjakan sesuatu lewat
media. Meski setamat kuliah masih bergelut di bidang belajar mengajar dan jadi pegawai
kantoran bidang IT dan bahasa Inggris selama 1.5 tahun, keinginan untuk terus
maju berkarya lewat media malah makin besar.
Selama
2 tahun pertama bekerja, aku terlebih dulu mengasah kemampuan dan pengalaman menulis.
Selama bekerja ku jadikan untuk terus aktif di berbagai media massa baik koran
cetak dan online hingga sosial media. Untungnya, sejumlah tulisan berupa opini
akhirnya menghiasi kolom opini media cetak lokal Harian Analisa (thanks untuk
itu). Branjak dari itu, ada kesempatan besar untuk terbang bak rajawali hingga
berada di sini (media).
Sejak
dulu, aku suka dengan presenter Metrotv Fessy Alwi, kekaguman padanya menumbuhkan
keinginan untuk mencoba. Sempat memang harus mengalami pergeseran tujuan, dari
ingin terjun sebagai reporter TV sampai sedikit bergeser ke dunia wisata - keinginan
terbesar karena menimbang pekerjaannya yang lebih menantang sekaligus menawarkan
bonus-bonus wisata gratis yang menggiurkan lantaran kecintaan bertualang di
tanah air.
Namun
roda hidup masih belum menghantarkan ku kesana. Mungkin belum saatnya, mungkin
juga masih harus banyak belajar. Seperti memperbandingkan diri dengan Mariskha
Prudence, mantan reporter MetroTv yang kini malah menggeluti dunia wisata. Beranjak
dari keyakinan bahwa perjalanan hidup seperti menaiki tangga, naik dari satu
level ke level yang lebih tinggi hingga tiba di puncaknya. Seperti teta menjaga
komitmen dan fokus ke tujuan terbesar perjalanan ini, sambil bergumam dalam
hati “Kalau Mariskha bisa kenapa aku ngak?”. Sebuah keyakinan yang
membangkitkan semangat.
Hingga
akhirnya aku bekerja disini, media online salah satu situs Kristen yang sudah
dikenal luas di Indonesia. Dapat bagian jadi Web Content Editor, yang lebih
kepada proses editing berita dan berbagai kolom berita lainnya. Tugasnya lebih
kepada rekonstruksi berita-berita yang sedang marak diperbincangkan lewat media
cetak hingga media visual. Kami bukan jurnalis yang setiap hari harus terjun ke
lapangan, meskipun porsi liputannya pasti ada. Ya, cukup menyenangkan lantaran tak berkutat
dengan hal-hal yang itu-itu saja seperti pekerjaan kantoran yang terbilang statis.
Memperoleh
apa yang kamu mau mungkin adalah perasaan yang luar biasa. Seakan seperti
jawaban doa yang sudah cukup lama dinanti-nantikan. Well, ini cerita awal - pintu pertama menuju petualangan panjang lainnya. Lalu, sisi lain dari hidup jadi jurnalis pun mencuat, sebuah fenomena unik
akan eksistensi jurnalis di tengah-tengah negeri Merah Putih. Mungkin banyak orang
Indonesia yang acap kali memandang sebelah mata dengan dunia jurnalistik.
Padahal, jurnalistik terkait pada berita yang merupakan salah satu konsumsi
utama berbagai kalangan, tak terkecuali dengan masyarakat nun jauh di desa
sekalipun.
Pernahkah
terbayang kalau-kalau kita hidup tanpa media? Apa jadinya dunia? Bukankah media
sosial yang teramat digandrungi mulai dari anak kecil hingga orang tua itu
adalah hasil karya media dan teknologi? Ya, itu contoh sederhananya. Lalu bagaimana
menanggapi pandangan yang menilai bahwa jurnalis itu seperti ini: “Jadi
wartawan itu hidupnya ngak pasti. Karirnya ngak jelas. Banyak yang dikerjakan,
tapi gajinya sedikit”.
Yes
absolutely! Wartawan itu gajinya sedikit tapi kerjanya banyak. Bukankah itu suatu masalah? Lalu apa respon
dari para jurnalis lewat perwakilan Aliansi Jurnalistik Independence (AJI) maupun mereka yang mengaku prihatin? Respon seakan tenggelam dalam hiruk pikuk! Para “jurnalis sejati”
bekerja oleh karena passion yang
mendorong untuk memberi karya terbaik demi menciptakan bahan konsumsi khalayak ramai dengan menyuguhkan
informasi berkualitas dan berbobot, yang dapat memberi manfaat dan memiliki nilai
ilmu pengetahuan. Sebab “jurnalis sejati” akan diperhitungkan dan diakui
bilamana menciptakan karya terbaik dan berpengaruh besar bagi pembaca.
Seharusnya
memang para wartawan dibayar dengan mahal, karena sepadan dengan kerja keras
yang menguras otak, bergerak tanpa henti sepanjang hari. Tapi rasanya di Negara
kita yang tercinta ini, sikap menghargai profesi wartawan mungkin cukup
memprihatinkan.
Lantas
kenapa masih tetap maju meski tahu rasa sakit yang harus dijalani jurnalis? Ya,
sama ibarat ketika kamu jatuh cinta, ketika kamu pengen kasih yang terbaik dari
yang kamu bisa lakuin buat yang kamu cintai. Kalau perasaan cinta itu didorong
oleh kerinduan besar itu sudah tumbuh, maka kerjakanlah. Banyak memang tawaran
yang lebih baik dari itu, tapi hati yang lebih memilih untuk mengabdi memberi
diri.
Namun
bagiku ini harus tetap dijalani dengan berbuat yang terbaik. Seperti episode
kehidupan berikutnya yang dituntut untuk banyak belajar, ikuti kata hati dan
percaya bahwa ketika sudah setia dengan perkara kecil, maka perkara besar bakal
bisa dijalani. Suatu harapan besar bakal datang dan perjalanan hidup bakal
meningkat menuju level berikutnya.
0 comments:
Post a Comment