Claustrum dan Silentium
Istilah claustrum
berasal dari bahasa Latin yang mengandung makna “Ruang tertutup” – sebuah
ruang yang juga dimaknai sebagai ruang sempit tanpa fentilasi udara.
Pada hakikatnya manusia
memiliki sifat ingin bebas. Seperti pendapat Sartre bahwa manusia itu adalah kebebasan itu sendiri.
Yang artinya bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya
sendiri tanpa intervensi dari pihak lain.
Sartre
mengumumkan tentang kecemasan manusia yang digambarkan melalui kebebasannya
untuk memilih ketika diperhadapkan pada suatu persoalan.Hanya ada dua pilihan “Iya” atau “Tidak”.
Kebebasan yang dimiliki
manusia adalah sebuah pilihan yang harus diputuskan sendiri. Seperti analogi
ketika manusia harus diperhadapkan pada satu jurang. Manusia berhak menentukan
pilihan dan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain.
Dalam kasus ini,
manusia berhak memilih untuk tetap hidup bila ia memilih untuk mundur dari jurang
dan menjauhi jurang atau mati bila ingin mengambil keputusan untuk terjun ke
jurang tersebut.
Claustrum ini acapkali
melanggar kebebasan itu. Claustrum dimana manusia harus terpaksa memilih untuk
tidak hidup bahagia, memaksa untuk teralienasi dan tersudut dalam ruang yang
sempit dan gelap.
Ungkapan teori Sartre yang melegenda melalui pemikiran
eksistensialismenya degan diktumnya
menyatakan bahwa “human is condemned to be free” atau manusia dikutuk untuk bebas maka dengan
kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak.
Ruang tertutup yang
disebutkan disini adalah ruang kosong yang sempit dan pengap dimana akan sangat
sulit bagi seseorang untuk tumbuh berkembang dan memandang dunia dari
perspektif yang lebih luas.
Lalu apa pengaruhnya
claustrum dengan silentium?Silentium dipengaruhi oleh kesepian yang dialami
oleh seseorang secara mutlak.Terminologi silentium berasal dari kata “silent”
yang artinya diam.Jadi dapat diartikan secara umum sebagai sebuah ketenangan
atau kediaman dan perenungan panjang yang dialami oleh seorang pribadi.
Ingatkah kita tentang
seorang Budha Sidharta Gautama yang mengadakan pertapaan panjangnya.Dengan
menjauhkan diri dari dunia sosial dan mencoba mencari kebijakan di Hutan Uruwela selama 6 tahun lamanya
dan di bawah pohon Bodhi hingga ia mencapai
pencerahan sempurna sebagai Budha yang
Maha Agung? Analoginya demikian, ketika claustrum menekan dan menempatkan
seorang pribadi pada situasi dimana tak ada seorang manusia pun yang memahami
akan apa yang dipikirkannya, maka seorang mencoba untuk menarik benang merah
dari segala problematika kejiwaannya. Dari situasi itu, seseorang akan lebih
berfikir jernih dalam menanggapi paradoks baik yang menghadangnya ataupun
sebuah paradigma menyimpang yang dianut oleh banyak orang.
Ketika mengalami
silentium, kebijakan adalah tujuan utama yang harus dicapai.Berusaha memaknakan
diri dalam posisinya sebagai mahluk hidup yang berakal yttsdan melihat penomena
yang terjadi dari perspektif yang positif dan logis. Mungkin terkesan sangat
subjektif atau mengandalkan kemampuan logika sendiri.Namun dalam kasus
mengalami silentium, satu fondasi yang juga harus diikut sertakan adalah ilham.
sssst
Dimana silentium
terjadi memang tak selamanya diakibatnya oleh claustrum, juga dapat sebaiknya
seperti Budha Sidharta yang mencoba menjalani pertapaan panjang dengan
menciptakan claustrum sendiri dan jauh dari dunia terbuka yang sudah sangat konvensional.
Arus balik yang akan
dicapai dari kedua hal ini adalah pengenalan diri secara total dan kebebasan
menentukan tujuan, pilihan dan prinsip hidup.
Biasanya orang-orang
yang mengalami persoalan seperti ini adalah mereka yang menyukai pembelajaran
hidup, mencari makna hidup sejati untuk menciptakan nilai hidup yang berarti
bagi sebuah kesempurnaan dan sumber kebiaksanaan dan sesama yang diciptakanNya.
Silentium
lebih dikenal dengan “berdiam diri”, menghindari diri
dari konsep dan perspektif dunia dalam menghadapi sebuah kompleksitas yang
ribet dan terkesan sebagai luka batin sebagai akibat dari sebuah action.
Seorang yang berfikir
bahwa claustrum sebagai hal positiflah yang akan survive dengan memanfaatkannya
sebagai ruang senggang untuk mencapai kebijakan.Bagaimanapun pahitnya dan
sakitnya pertapaan sang Budha, akhirnya
ia menemukan bahwa kepahitan akan membentuk kebijakan yang sempurna.
Bicara tentang
kebebasan, teringat dengan iklan salah satu provider yang baru-baru ini selalu
melintas dilayar kaca tivi-tivi kita.Ingat bukan:
“Kebebasan itu omong kosong.
Katanya bebas berteman dengan siapa saja, asal orang tua suka.
Katanya jadi laki-laki itu jangan pernah takut gagal,tapi juga jangan bodoh
untuk ngambil resiko.
Mendingan kerja dulu cari pengalaman.
Katanya urusan jodoh sepenuhnya ada di tangan, asalkan dari keluarga
terpandang, gak cuma cantik, tapi juga santun, berpendidikan…
Katanya jaman sekarang pilihan itu gak ada batasnya,
Selama mengikuti pilihan yang ada.
Always On…
Bebas itu nyata..”
Kebebasan tergantung pilihan yang ada. Tuhan pun
memberi kita pilihan untuk memilih yang terbaik artinya bebas.