Sepaket Bahagia dan Duka dalam Pernikahan Batak
Jujur
aja aku adalah orang yang paling nggak
pernah terlalu peduli dengan aturan-aturan adat dan tradisi yang masih terus
berlaku dalam keluarga kami sebagai suku Batak. Meski nyatanya kedua orangtua
kami adalah tipikal orangtua Batak yang begitu menjunjung tinggi adat istiadat.
Ya, mungkin cara hidup yang berpadanan dengan tradisi sudah mengakar dalam diri
mereka karena kebiasaan dan tuntutan dari pentingnya mematuhi tatanan
hidup yang diwariskan nenek moyang suku ini. Ibarat sebuah kewajiban; jika kamu adalah Batak maka nggak ada alasan buat nggak menjalankan tradisi.
Jika
mama dan papa ku bisa menjelaskan secara rinci soal silsilah marga, kedudukan
dalam keluarga atau tata cara dalam suatu adat, maka kami sama sekali tak akan
pernah paham dengan itu, kecuali adik laki-laki ku yang dianggap si sulung dan
menjadi pemimpin tertinggi atas kami empat bersaudara (soal ini bakal aku bahas
di topik bahasan berikutnya).
Banyak
orang menilai tradisi pernikahan Batak itu rumit, rempong, ribet, riweh dan
apalah itu. Mau tau dampak buruk dari mindset
ini? Banyak laki-laki (termasuk laki-laki Batak) yang kemudian pikir-pikir
menikahi wanita Batak. Sinamot dan adat pernikahan dianggap menjadi dua hal
yang paling memberatkan.
Bagi
orang-orang Batak yang kurang paham dengan adat sepertiku, mungkin mulai
tercengang-cengang kalau-kalau sebagian dari rekan atau keluarga mereka yang menikah
menyebut biaya total untuk melangsungkan sebuah pernikahan bisa mencapai ratusan
juta. Lalu kita mulai ciut saat mendengar nominal biaya sebesar itu. Kita
akhirnya menyerah dan memutuskan tak ingin menikahi seseorang dari suku ini. Betapa
menyedihkannya suku ini saat masalah sinamot dan pesta adat harus dijadikan
kambing hitam? Sebagai orang Batak aku turut berduka!
5
Mei 2016 lalu, kakak kami yang paling sulung menikah. Ini adalah pernikahan
pertama dalam keluarga kami. Dia menikahi seorang pria sesama suku Batak. Meskipun
aku gagap tradisi, bukan berarti aku abai dengan segala urusan persiapan
pernikahan mereka yang akan dilangsungkan secara adat. Aku tahu segala hal
tentang persiapan mereka. Aku tahu puluhan juta harus mereka persiapkan untuk
pernikahan ini. Sinamot dan acara adat (katering, sewa gedung, gereja, pakaian,
dan sebagainya) tentu perlu biaya toh!
Dan mereka mempersiapkan sesuai kebutuhan pernikahan. Bagiku, persiapan ini tak
ubahnya dengan pernikahan yang dilakukan oleh suku lain. Sinamot dalam istilah
lainnya disebut mahar dan biaya adat mungkin ibarat resepsi nikah seusai
pemberkatan di gereja. Nggak ada
bedanya!
Penjelasan
soal sinamot dan biaya adat di atas mungkin bisa di terima. Tapi aku tahu ada
sesuatu yang lain yang mengganjil di benak. Ya, bukan soal sinamot dan biaya
adat sih, tapi yang bikin pernikahan Batak itu ribet bukan kepalang ya, soal
tata acara sepanjang pesta adat! Harus ada tor-tor
lah, hula-hula, bagi jambar lah, mangulosi lah (istilah Batak) dan lainnya. Soal ini, aku setuju! Memang
ribet dan bikin pasangan pengantin kecapekan dan lelah.
Apa
bagian ini bisa dihilangkan? Jawabnya Nggak, tapi disederhanakan ya mungkin. Intinya,
semakin banyak dan besar keluarga salah satu pihak (pria dan wanita), semakin lama
proses pesta adat. Begitu sebaliknya! Inilah duka sebenarnya dalam pernikahan
Batak.
Bahagianya
apa? Jika ditanyakan soal bahagia. Bahagia dan duka dalam pernikahan Batak
adalah sepaket. Mama, papa, adik-adik, kakak dan keluarga besarku tentu saja
bahagia. Bahagia karena pernikahan seorang anak dalam sebuah keluarga Batak
adalah berkah. Keluarga Batak merasa begitu bangga saat anak perempuannya memutuskan
menikah di bawah usia 30 tahun. Orangtua-orangtua Batak akan mulai stres dan
frustrasi saat anak gadisnya belum juga menikah di usia melebihi kepala tiga. Sementara
perkara usia bukan sebuah masalah bagi anak laki-laki.
Nggak
masalah jika sebagian orang masih berpikir adat Batak itu memang ribet dan
berat. Nggak masalah pula jika sebagian
orang menganggap skeptis soal adat istiadat. Tetapi kebenarannya adalah setiap kita
tentu nggak berharap dilahirkan di
suku tertentu bukan? Kita dilahirkan dalam suku tertentu bukan karena kemauan
kita bukan? Jadi, kenapa harus mencibir atau anti dengan budaya yang satu dan mengata-ngatai
kekurangan budaya yang lain? Bukankah itu yang harusnya kita pandang sebagai
keunikan dan identitas sebuah suku yang membedakannya dari suku yang lain?