TOMBOL 'DELETE' dan PERCEPATAN
Mengutip
sebaris isi pikiran Rabindranath Tagore tentang dunia modern, lewat caping
Goenawan Mohamad menuturkan bahwa, “Modernisasi pada akhirnya memang suatu
permainan kekuatan. Ada yang tergusur, ada yang menggusur. Ada yang menang, ada
yang telantar lemah. Tapi jangan salah kira: di zaman seperti ini, yang lemah
tak akan tinggal jadi gurun: “yang lemah berbahaya bagi yang kuat, sebagaimana
pasir hanyut berbahaya bagi si gajah”.
Kutipan
di atas mengawali tulisan yang diinspirasikan oleh sekilas ide dari sebuah
artikel berjudul ‘Renungan Tombol Blackberry’ di koran Kompas usang tertanggal
5 Januari 2014, yang sengaja ku ambil dari lobi bandara Kuala Namu sekedar
bacaan sepanjang perjalanan balik ke Jawa.
Artikel yang
ditulis oleh yang mengaku bernama Jean Couteau ini menuturkan tentang kisah
tombol ‘delete’ di Blackberry kadaluwarsa miliknya. Ia hendak membersihkannya
dari daftar nama yang tak lagi berguna. Ia bergumam “Terlalu banyak nama,
pikirku, melihat betapa panjang daftar nama kontak teleponku. Akan cepat full! Dibersihkan! Jadi, ada yang harus
di-delete (dihapus)”.
Bagi Jean menghapus
sejumlah kontak yang lama dan tak lagi berarti apa-apa di kini adalah jalan
untuk sedikit meringankan memori Blackberry-nya yang telah berusia senja itu.
Namun, hingga di suatu titik, meski telah menghapus beberapa kandidat ‘delete’,
satu per satu nama yang mengukirkan kenangan indah di masa lalunya pun muncul.
Meski telah mengubur dalam kenangan, namun ia tak mampu mengelak bahwa sosok
dari nama-nama itu pernah mengukir cerita.
Menyadari hal itu,
ia bergumam, ‘Gara-garanya sebuah nama saja, yaitu F itu, dunia tangisku yang
lalu, berikut sayup-sayup gelap memori yang kuduga mati, tiba-tiba tampil
berkelebat kembali memedihkan hati. Tak heran bila aku tidak kuasa men-delete-nya. Biarlah dia tetap hadir di ‘batas’,
berdiam tersisip, selain di hati, di sela-sela tombol-tombol Blackberry-ku yang
tua”.
Begitu pun dengan seseorang
yang telah tiada dari kehidupannya, dimana nama itu pun masih berderet bersama
dengan nama lainnya. Tak tega rasanya harus menghapus nama satu-satunya sebagai memori
yang tersisa.
“Apakah mereka yang
sudah di-delete dari hidup nyata
harus pula di-delete dari simbol digital
hidupnya, dan dengan demikian meninggal untuk keduakalinya sebelum terbawa
untuk seterusnya oleh surutnya satu gelombang memori manusia,” tulisnya.
Di akhir tulisan
itu, Jean belajar satu hal sederhana dalam hidup bahwa tombol-tombol Blackberry
yang ditekannya mampu mengulur balik waktu. Tombol-tombol itu mampu menggali memori
dan mencari arti pada peristiwa-peristiwa yang dulu bahkan kita sangka ‘tak ada
arti’.
Begitu pun dengan
percepatan dan manusia. Merenungkan kembali satu catatan pinggir Goenawan
Mohammad berjudul ‘pelan’ yang terbit pekan ini, dengan tegas menekankan pada percepatan
yang dialami manusia zaman ini. Kita seolah bangga dengan kecepatan yang tak
terbatas, baik percepatan mengikuti modernasasi yang tiada batas ini. Kita seolah
bersaing untuk tampil di lini terdepan dengan beragam teknologi yang disuguhkan
untuk hanya sekedar ‘prestis’, dan meninggalkan esensi dari menikmati hidup
yang sewajarnya.
Goenawan menggambarkan
akan arti menikmati pelan-pelan setiap detik waktu dengan sejenak merenung dan
memandang tingkah polah ‘kita’ yang mudah tergoda oleh ‘dunia’.
“Saya menyukai pagi: dengan gerimis atau sinar matahari, saya akan berjalan mengikuti bayang-bayang pohon sepanjang alur, atau sebaliknya, duduk tiga menit memejamkan mata di depan jendela terbuka. Ada sisa harum kemuning yang mekar semalam dan bau daun-daun yang lumat di rumput becek. Ada suara burung yang cerewet — ya, pagi adalah suara burung yang cerewet. Juga suara tokek, bunyi berat yang sabar satu demi satu, seakan-akan melawan kecepatan detik,“tulis Goenawan.
Namun
kenikmatan dengan bau kehidupan pedesaan itu sangat berbeda jauh dengan apa
yang ditemuinya di dunia kita saat ini, dunia dot.com. ‘Di depan laptop, dunia melawan
pagi. Di depan laptop, di luar iPad, di luar kamar, kita diproyeksikan
seolah-olah terancam: makhluk yang akan runtuh bila tak bergerak
cepat”.
Manusia
melakoni kehidupannya dengan beragam jalan dan cara yang berbeda. Manusia dapat
belajar dari masa lampau. Kita bisa mengagumi, mengenang dan menghidupkan kembali
kenangan, atau justru sebaliknya. Kita juga bisa menjadi yang terhebat dengan terus
mengejar waktu untuk menikmati suguhan terhangat dan mampu mencuri perhatian
dunia. Itu semua hanya sebatas pilihan, selera atau tuntutan.